SENI, hakikinya adalah satu kesatuan ekspresi estetik manusia
yang memiliki keotonominan tinggi sebagai sebuah nilai. Selanjutnya
dalam perkembangan yang menuntut kebaharuan iapun kemudian menyesuaikan
diri dengan eksistensi alam berikut isinya yang terus berevolusi dari
waktu kewaktu.
Setiap seni selalu berawal dari rasa keindahan, tetapi kemudian tidak
semua yang indah dapat disebut dengan seni, sebagaimana indahnya alam
semesta. Yang pasti, ia selalu berada dalam fungsi dan tujuan ideal,
salah satu fungsi dan tujuan seni tersebut adalah sebagai
pengejewantahan dari nilai estetika itu sendiri.
Musikalisasi puisi adalah sebuah genre dalam dunia seni. Merupakan
jenis mutakhir dari satu kesatuan seni yang ada. Ia lahir dari akumulasi
sekaligus sebagai hasil perkawinan dari beberapa bidang seni yang telah
lebih dulu lahir dan menemukan jati dirinya. Bidang seni ini merupakan
perpaduan dari beberapa jenis seni lainnya yang telah berkembang pesat
dalam jagad ekspresi manusia. Ia hadir sebagai bentuk seni baru
merangkap fakta, bahwa evolusi kesenian berjalan sebagaimana manusia
juga terus mengevolusikan cita berkesenian dengan nilai keindahan yang
lebih pariatif.
Awalnya, musikalisasi puisi ditafsirkan sebagai teknik pembacaan
puisi dengan iringan orkestrasi musik belaka. Baik musik yang sederhana
maupun orkes ansambel. Sebagai seni altenatif diantara sejumlah aliran
dan jenis seni musik yang mendominasi, musikalisasi puisi muncul dengan
penawaran kesederhanaan instrumen namun kaya dalam pemaknaan, tempat
bermuaranya aliran tradisi-modren, awal transformasi dan dramatisasi
puisi melalui media musik.
Kreativitas tidak bisa dinilai dari satu sudut atau dengan tanpa
memperhatikan dimensi lainnya. Tetapi harus berimbang antara proses
penciptaan dengan kebaharuan dan daya penciptaan. Meskipun antara
praktis dan teori terkadang tidak menemukan sudut ukur yang sama.
Karenanya secara teoretik
art actionaly in art pengertian
musik dan puisi tidak dengan memisahkan antara dua kata dari
penggabungan dua kata berbeda menjadi musikalisasi puisi. Melainkan
lebih menitik beratkannya pada satu kesatuan dari dua unsur yang berbeda
yang saling melengkapi dalam rangka penciptaan harmonisasi keseluruhan
komposisi, syair dan musik.
Pengertian lain menerjemahkannya sebagai bentuk seni kosmopolitan
yang memainkan sejumlah benda yang dapat melahirkan bunyi dengan
penekanan pada tangga nada, seni olah vokal dengan tempo dan ritme
tertentu, seni sastra yang lebih mementingkan pada aktualisasi
verbalitas vokal dan vibra suara dengan syair-syair pilihan sebagai
bahan baku utama.
Sederhananya, musikalisasi puisi adalah perpaduan yang harmonis
antara tiga bidang seni yang diformulasikan menjadi sebuah jenis
kesenian baru. Diantara unsur seni tersebut adalah seni suara, seni
musik dan seni sastra berupa syair puisi. Atas kreativitas senimannyalah
menjadi sebuah tampilan yang membedakannya dengan seni musik pada
umumnya. Sebab pada tahap ini, pola penampilan musikalisasi puisi tidak
lagi sebatas mengiringi pembacaan puisi dengan beberapa alat musik
melalui rumus (
musik puisi=puisi yang disajikan secara
musikal,
lagu puisi=puisi yang dilagukan, pembacaan puisi dengan iringan musik).
Keterlibatan unsur-unsur dalam musikalisasi puisi diantaranya adalah
puisi itu sendiri. Kekuatan puisi yang bertumpu pada kata-kata dan makna
tidak selamanya dapat terselami jika ia tetap berdiri sebagai sebuah
seni yang terdepak dalam tekstual. Kekuatan dan asupan makna yang
dimiliki layaknya dapat dikonsumsi oleh lebih banyak apresian dengan
tingkat pengekangan nilai estetika yang lebih homogen, sehingga kadar
kemanfaatannya sesuai dengan esensi dari tujuannya sebagai sebuah seni.
Unsur berikutnya adalah musik. Melalui permainan alat musik dengan
tonasi yang tertata sedemikian rupa sehingga menciptakan warna
tersendiri, baik pada musiknya sendiri maupun pada puisinya. Perpaduan
dua aliran seni tersebut dapat memunculkan suatu pemaknaan yang lebih
mendalam dan pariatif. Meskipun genre seni ini secara khusu tidak
menciptakan syair puisi, tetapi memilih dan mengolah puisi-puisi yang
ada dari karya sejumlah penyair untuk dimodifikasi sedemikian rupa
menjadi sebuah lagu, syair, lirik dan musik yang utuh dalam sebuah
peforment musikal.
Keterjalinan antara seni musik dan puisi dari unsur sastra kerap
dihadapkan pada persoalan pengertian musik itu sendiri. Musik yang
dipuisikan atau puisi yang dimusikkan. Antara kedua unsur utama ini
kerap juga melahirkan pertanyaan tentang mana yang lebih dulu diawalkan,
lagu atau syair puisinya. Realita teknis pengapresiasian dari beberapa
kelompok musikalisasi puisi mengaku lagu yang diadaptasikan dengan isi
syair puisi. Meski demikian tidak jarang juga teknik ini justru berlaku
sebaliknya, isi syair diadaptasikan dengan tone-tone komposisi yang
tepat untuk dimusikalisasikan.
Puisi yang ditulis oleh penyairnya yang kemudian dengan atau tanpa
dipublikasikan lalu difahami melalui pembacaan, ditafsirkan, dan
dihayati kemudian dilakukan persilangan melalui serangkaian pilihan
kunci tone dan jenis tarikan ritme. Hal tersebut lebih didasarkan pada
pertimbangan bahwa puisi juga mempunyai ritme yang alami berdasarkan
struktur. Puisi memiliki dan mampu menghasilkan tata bunyi tersendiri,
intonasi dan hentakan-hentakan dari makna kata.
Otoritas puisi yang didramatisasi dengan alat musik sebagai salah
satu karya seni idealnya harus terjaga. Sehingga makna yang terkandung
di dalamnya tetap utuh dan segi intrinsik dan otoritas puisi sebagai
karya sastra tidak mengandung samar tafsir. Pola dan teknik ini pada
dasarnya lebih menarik perhatian dan diminati dalam proses
pengapresiasian puisi, dan tentu, selayaknya menjadi alternatif dalam
pembelajaran sastra.
Pemusikan puisi atau puisi yang dimusikkan, dianalisa lebih jauh dari
sejumlah literatur jenis seni ini sesungguhnya telah ada sejak
berabad-abad silam. Bahkan jauh sebelum zaman keemasan Islam musikal
puisi sudah berkembang sebagai bagian dari kesenian tradisi masyarakat
Arab. Mereka menyanyikan syair-syair dengan alat musik dan aranger
sederhana, dimainkan dalam jamuan-jamuan, melepas dan menyambut para
saudagar atau prajurit perang atau dalam moment-moment tertentu.
Kesenian ini berkembang secara perlahan dan meluas (tanpa khilafiah)
pada abad ke-sembilan Masehi. Qasidah dan rebana adalah bagian dari
perjalanan sejarah musikal tersebut dengan menyadur syair-syair Arab dan
kutipan-kutipan dari ayat Alqur’an, hadist dan kearifan lokal
masyarakat.
Sementara itu di belahan dunia Barat jenis musik ini muncul
beriringan dengan tumbuh dan berkembangnya pengaruh agama yang disusul
kemudian dengan lahirnya sejumlah pemahaman yang berkaitan langsung
dengan ritual keagamaan (Nasrani). Nyanyian dalam gereja dan sejumlah
kesenian tradisional lainnya yang mentransformasikan ajaran dengan
menyadur ayat-ayat Injil.
Dalam sejarah musik klasik, musikalisasi puisi juga sudah menjadi
lahan bagi para komponis. Sebut saja Franz Schubert (1797-1828), yang
melahirkan komposisi musik dengan olah vokal berdasarkan syair-syair
gubahan pujangga-pujangga besar Eropa. Atau Maurice Ravel (1875-1937),
komponis yang berkarya lewat dentingan piano berjudul Gaspard de la
Nuit, yang diinspirasikan dari puisi karya pujangga Perancis, Aloysius
Bertrand (1807-1841).
Di Indonesia jenis seni ini mulai muncul pada tahun enam puluhan dan
baru mendapat tempat pada tahun-tahun berikutnya. Awal kemunculannya
kehadapan publik secara luas tidak terlepas dari peran seniman Umbu
Landu Paranggi yang berkebetulan tinggal di Yogyakarta. Umbu Paranggi
melalui sejumlah rekan-rekannya seperti Ebied G. Ade, Emha Ainun Najib,
Ragil Suwarna Pragolapati, Deded Er Moerad yang selalu membawa
puisi-puisi Umbu dengan memusikkannya.
Fase berikutnya lahir kelompok musik Bimbo, yang sangat ekspresif dan
dalam menyanyikan puisi-puisi Taufiq Ismail atau Wing Kardjo,
Dengan Puisi Aku ciptaan Taufiq Ismail adalah contoh dari keberhasilan senandung musikalisasi dengan tanpa mengubah makna puisi. Atau puisi
Salju karya Wing Kardjo dengan iringan petikan gitar dan sedikit orkestrasi gaya khas Bimbo.
Dalam waktu yang hampir bersamaan muncul Ebiet G.Ade yang mengusung
puisi-puisi ciptaannya sendiri ke dalam bentuk-bentuk melodi baladis.
Seniman lainnya yang memusikkan puisinya seperti Yan Hartlan dan Rita
Rubi Hartlan, juga Uli Sigar Rusady dengan tema-tema lingkungan,
Komponis Ananda Sukarlan dengan karya-karya musik vokal berdasarkan
puisi-puisi karya Goenawan Muhammad, WS Rendra dan lain-lain.
Di Surabaya muncul seniman lainnya dengan aliran yang nyaris sama
seperti Leo Kristi, The Gembel, Gombloh dan The Lemon Tree. Sementara di
kota Bandung lahir penyanyi dengan pola bertutur seperti Doel Sumbang,
Harry Rusly dan lain-lain. Seniman pelaku lainnya yang kemudian
bermunculan adalah Franky Sahilatua disamping lahirnya beberapa
group-group musikalisasi profesional lainnya.