Rabu, 01 Mei 2013

Praktek Musikalisasi Puisi

Hijau . Tembus . Menutup . 
Terhalang . Cahaya . Terik . Deret . Seret . Panas

Cahaya matahari terhalang
Hanya ada cahaya hijau
Cakrawala keindahan membuta
Hanya ada deret kain penghalang
Tak ada terik panas menembus
Terlindung oleh tenunan demi tenunan
Menggambarkan peluh kehangatan


Putih . Senandung . Sakit . Lembut . Wangi . Manis . 
Bersih . Teriakan . Sendu . Kasar . Busuk . Pahit . 
Lengkungan . Hening . Hangat . Licin . Semerbak . 
Masam . Diam . Gemuruh . Tentram . Kering . Segar . 
Asin . Berlari . Melodi . Sejuk . 
Halus . Pedas

Putih, Bersih hatinya
Pahit sendu nasibnya
Lengkungan bibirnya selalu terjaga keatas
Menghiraukan sakit di dalam gemuruh hatinya

Senandung melodi senantiasa keluar dari mulut manisnya
Meski sangat masam rasa hidupnya
Teriakan pedas dan kasar terdengar di telinganya
Diam membawa keheningan
Memecah tentramnya jiwa

Berlari diatas kasar licinnya jalan
Di atas rumput-rumput yang mengering
Semerbak wangi kehidupan
Menyegarkan mata yang berlinang

Hangat terik menyilaukan
Sejuk angin merasuki
Mata dan jiwa yang lembut

Tidak ada kebusukan di hatinya
Hanya ada penyesalan
Hidupnya yang kian tak halus
Layaknya gemuruh ombak laut nan asin


Musikalisasi Puisi

Musikalisasi Puisi. (foto: rahmadsanjaya.blogspot.com) SENI, hakikinya adalah satu kesatuan ekspresi estetik manusia yang memiliki keotonominan tinggi sebagai sebuah nilai. Selanjutnya dalam perkembangan yang menuntut kebaharuan iapun kemudian menyesuaikan diri dengan eksistensi  alam berikut isinya yang terus berevolusi dari waktu kewaktu.

Setiap seni selalu berawal dari rasa keindahan, tetapi kemudian tidak semua yang indah dapat disebut dengan seni, sebagaimana indahnya alam semesta. Yang pasti, ia selalu berada dalam fungsi dan tujuan ideal, salah satu fungsi dan tujuan seni tersebut adalah sebagai pengejewantahan dari nilai estetika itu sendiri.

 Musikalisasi puisi adalah sebuah genre dalam dunia seni. Merupakan jenis mutakhir dari satu kesatuan seni yang ada. Ia lahir dari akumulasi sekaligus sebagai hasil perkawinan dari beberapa bidang seni yang telah lebih dulu lahir dan menemukan jati dirinya. Bidang seni ini merupakan perpaduan dari beberapa jenis seni lainnya yang telah berkembang pesat dalam jagad ekspresi manusia. Ia hadir sebagai bentuk seni baru merangkap fakta, bahwa evolusi kesenian berjalan sebagaimana manusia juga terus mengevolusikan cita berkesenian dengan nilai keindahan yang lebih pariatif.

Awalnya, musikalisasi puisi ditafsirkan sebagai teknik pembacaan puisi dengan iringan orkestrasi musik belaka. Baik musik yang sederhana maupun orkes ansambel. Sebagai seni altenatif diantara sejumlah aliran dan jenis seni musik yang mendominasi, musikalisasi puisi muncul dengan penawaran kesederhanaan instrumen namun kaya dalam pemaknaan, tempat bermuaranya aliran tradisi-modren, awal transformasi dan dramatisasi puisi melalui media musik.

Kreativitas tidak bisa dinilai dari satu sudut atau dengan tanpa memperhatikan dimensi lainnya. Tetapi harus berimbang antara proses penciptaan dengan kebaharuan dan daya penciptaan. Meskipun antara praktis dan teori terkadang tidak menemukan sudut ukur yang sama.

Karenanya secara teoretik art actionaly in art pengertian musik dan puisi tidak dengan memisahkan antara dua kata dari penggabungan dua kata berbeda menjadi musikalisasi puisi. Melainkan lebih menitik beratkannya pada satu kesatuan dari dua unsur yang berbeda yang saling melengkapi dalam rangka penciptaan harmonisasi keseluruhan komposisi, syair dan musik.

Pengertian lain menerjemahkannya sebagai bentuk seni kosmopolitan yang memainkan sejumlah benda yang dapat melahirkan bunyi dengan penekanan pada tangga nada, seni olah vokal dengan tempo dan ritme tertentu, seni sastra yang lebih mementingkan pada aktualisasi verbalitas vokal dan vibra suara dengan syair-syair pilihan sebagai bahan baku utama.

Sederhananya, musikalisasi puisi adalah perpaduan yang harmonis antara tiga bidang seni yang diformulasikan menjadi sebuah jenis kesenian baru. Diantara unsur seni tersebut adalah seni suara, seni musik dan seni sastra berupa syair puisi. Atas kreativitas senimannyalah menjadi sebuah tampilan yang membedakannya dengan seni musik pada umumnya. Sebab pada tahap ini, pola penampilan musikalisasi puisi tidak lagi sebatas mengiringi pembacaan puisi dengan beberapa alat musik melalui rumus (musik puisi=puisi yang disajikan secara musikal, lagu puisi=puisi yang dilagukan, pembacaan puisi dengan iringan musik).

Keterlibatan unsur-unsur dalam musikalisasi puisi diantaranya adalah puisi itu sendiri. Kekuatan puisi yang bertumpu pada kata-kata dan makna tidak selamanya dapat terselami jika ia tetap berdiri sebagai sebuah seni yang terdepak dalam tekstual. Kekuatan dan asupan makna yang dimiliki layaknya dapat dikonsumsi oleh lebih banyak apresian dengan tingkat pengekangan nilai estetika yang lebih homogen, sehingga kadar kemanfaatannya sesuai dengan esensi dari tujuannya sebagai sebuah seni.

Unsur berikutnya adalah musik. Melalui permainan alat musik dengan tonasi yang tertata sedemikian rupa sehingga menciptakan warna tersendiri, baik pada musiknya sendiri maupun pada puisinya. Perpaduan dua aliran seni tersebut dapat memunculkan suatu pemaknaan yang lebih mendalam dan pariatif. Meskipun genre seni ini secara khusu tidak menciptakan syair puisi, tetapi memilih dan mengolah puisi-puisi yang ada dari karya sejumlah penyair untuk dimodifikasi sedemikian rupa menjadi sebuah lagu, syair, lirik dan musik yang utuh dalam sebuah peforment musikal.

Keterjalinan antara seni musik dan puisi dari unsur sastra kerap dihadapkan pada persoalan pengertian musik itu sendiri. Musik yang dipuisikan atau puisi yang dimusikkan. Antara kedua unsur utama ini kerap juga melahirkan pertanyaan tentang mana yang lebih dulu diawalkan, lagu atau syair puisinya. Realita teknis pengapresiasian dari beberapa kelompok musikalisasi puisi mengaku lagu yang diadaptasikan dengan isi syair puisi. Meski demikian tidak jarang juga teknik ini justru berlaku sebaliknya, isi syair diadaptasikan dengan tone-tone komposisi yang tepat untuk dimusikalisasikan.
Puisi yang ditulis oleh penyairnya yang kemudian dengan atau tanpa dipublikasikan lalu difahami melalui pembacaan, ditafsirkan, dan dihayati kemudian dilakukan persilangan melalui serangkaian pilihan kunci tone dan jenis tarikan ritme. Hal tersebut lebih didasarkan pada pertimbangan bahwa puisi juga mempunyai ritme yang alami berdasarkan struktur. Puisi memiliki dan mampu menghasilkan tata bunyi tersendiri, intonasi dan hentakan-hentakan dari makna kata.

Otoritas puisi yang didramatisasi dengan alat musik sebagai salah satu karya seni idealnya harus terjaga. Sehingga makna yang terkandung di dalamnya tetap utuh dan segi intrinsik dan otoritas puisi sebagai karya sastra tidak mengandung samar tafsir. Pola dan teknik ini pada dasarnya lebih menarik perhatian dan diminati dalam proses pengapresiasian puisi, dan tentu, selayaknya menjadi alternatif dalam pembelajaran sastra.

Pemusikan puisi atau puisi yang dimusikkan, dianalisa lebih jauh dari sejumlah literatur jenis seni ini sesungguhnya telah ada sejak berabad-abad silam. Bahkan jauh sebelum zaman keemasan Islam musikal puisi sudah berkembang sebagai bagian dari kesenian tradisi masyarakat Arab. Mereka menyanyikan syair-syair dengan alat musik dan aranger sederhana, dimainkan dalam jamuan-jamuan, melepas dan menyambut para saudagar atau prajurit perang atau dalam moment-moment tertentu.

Kesenian ini berkembang secara perlahan dan meluas (tanpa khilafiah) pada abad ke-sembilan Masehi. Qasidah dan rebana adalah bagian dari perjalanan sejarah musikal tersebut dengan menyadur syair-syair Arab dan kutipan-kutipan dari ayat Alqur’an, hadist dan kearifan lokal masyarakat.
Sementara itu di belahan dunia Barat jenis musik ini muncul beriringan dengan tumbuh dan berkembangnya pengaruh agama yang disusul kemudian dengan lahirnya sejumlah pemahaman yang berkaitan langsung dengan ritual keagamaan (Nasrani). Nyanyian dalam gereja dan sejumlah kesenian tradisional lainnya yang mentransformasikan ajaran dengan menyadur ayat-ayat Injil.
Dalam sejarah musik klasik, musikalisasi puisi juga sudah menjadi lahan bagi para komponis. Sebut saja Franz Schubert (1797-1828), yang melahirkan komposisi musik dengan olah vokal berdasarkan syair-syair gubahan pujangga-pujangga besar Eropa. Atau Maurice Ravel (1875-1937), komponis yang berkarya lewat dentingan piano berjudul Gaspard de la Nuit, yang diinspirasikan dari puisi karya pujangga Perancis, Aloysius Bertrand (1807-1841).

Di Indonesia jenis seni ini mulai muncul pada tahun enam puluhan dan baru mendapat tempat pada tahun-tahun berikutnya. Awal kemunculannya kehadapan publik secara luas tidak terlepas dari peran seniman Umbu Landu Paranggi yang berkebetulan tinggal di Yogyakarta. Umbu Paranggi melalui sejumlah rekan-rekannya seperti Ebied G. Ade, Emha Ainun Najib, Ragil Suwarna Pragolapati, Deded Er Moerad yang selalu membawa puisi-puisi Umbu dengan memusikkannya.

Fase berikutnya lahir kelompok musik Bimbo, yang sangat ekspresif dan dalam menyanyikan puisi-puisi Taufiq Ismail atau Wing Kardjo, Dengan Puisi Aku ciptaan Taufiq Ismail adalah contoh dari keberhasilan senandung musikalisasi dengan tanpa mengubah makna puisi. Atau puisi Salju karya Wing Kardjo dengan iringan petikan gitar dan sedikit orkestrasi gaya khas Bimbo.
Dalam waktu yang hampir bersamaan muncul Ebiet G.Ade yang mengusung puisi-puisi ciptaannya sendiri ke dalam bentuk-bentuk melodi baladis. Seniman lainnya yang memusikkan puisinya seperti Yan Hartlan dan Rita Rubi Hartlan, juga Uli Sigar Rusady dengan tema-tema lingkungan, Komponis Ananda Sukarlan dengan karya-karya musik vokal berdasarkan puisi-puisi karya Goenawan Muhammad, WS Rendra dan lain-lain.

Di Surabaya muncul seniman lainnya dengan aliran yang nyaris sama seperti Leo Kristi, The Gembel, Gombloh dan The Lemon Tree. Sementara di kota Bandung lahir penyanyi dengan pola bertutur seperti Doel Sumbang, Harry Rusly dan lain-lain. Seniman pelaku lainnya yang kemudian bermunculan adalah Franky Sahilatua disamping lahirnya beberapa group-group musikalisasi profesional lainnya.

Wayang



WAYANG adalah salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.

Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.

Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh panakawan dalam_ pewayangan sengaja diciptakan para budayawan In­donesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk mem­perkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.

Dalam disertasinya berjudul Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel (1897), ahli sejarah kebudayaan Belanda Dr. GA.J. Hazeau menunjukkan keyakinannya bahwa wayang merupakan pertunjukan asli Jawa. Pengertian wayang dalam disertasi Dr. Hazeau itu adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat bayangannya pada kelir. Dengan demikian, wayang yang dimaksud tentunya adalah Wayang Kulit seperti yang kita kenal sekarang.

Asal Usul Wayang Kulit
Ada dua pendapat mengenai asal – usul wayang. Pertama, pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt.

Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa lain.

Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah India.

Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pe­wayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain. Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indo­nesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmur­nya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga In­dia, Walmiki.

Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli versi In­dia, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 – 1160).

Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata “mawa­yang” dan `aringgit’ yang maksudnya adalah per­tunjukan wayang.

Kelahiran Wayang Kulit
Mengenai saat kelahiran budaya wayang, Ir. Sri Mulyono dalam bukunya Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (1979), memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yakni kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya itu didasarkan atas tulisan Robert von Heine-Geldern Ph. D, Prehis­toric Research in the Netherland Indie (1945) dan tulisan Prof. K.A.H. Hidding di Ensiklopedia Indone­sia halaman 987.

Kata `wayang’ diduga berasal dari kata `wewa­yangan’, yang artinya bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang Kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada kelir. Pada masa itu pergelaran wayang hanya diiringi oleh seperangkat gamelan sederhana yang terdiri atas saron, todung (sejenis seruling), dan kemanak. Jenis gamelan lain dan pesinden pada masa itu diduga masih belum ada.

Untuk lebih menjawakan budaya wayang, sejak awal zaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata.
Sejak saat itulah cerita – ­cerita Panji, yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, di antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai mewayangkan kisah para raja Majapahit, di antaranya cerita Damarwulan.

Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga memberi pengaruh besar pada budaya wayang, terutama pada konsep religi dari falsafah wayang itu. Pada awal abad ke-15, yakni zaman Kerajaan Demak, mulai digunakan lampu minyak berbentuk khusus yang disebut blencong pada pergelaran Wayang Kulit.

Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk pada Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjutnya, mulai dikenal pula adanya cerita wayang pakem. yang sesuai standar cerita, dan cerita wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu masih ada lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari cerita pakem.
Memang, karena begitu kuatnya seni wayang berakar dalam budaya bangsa Indonesia, sehingga terjadilah beberapa kerancuan antara cerita wayang, legenda, dan sejarah. Jika orang India beranggapan bahwa kisah Mahabarata serta Ramayana benar-benar terjadi di negerinya, orang Jawa pun menganggap kisah pewayangan benar-benar pernah terjadi di pulau Jawa.